Sejarah Pendiria
Info sumber mengenai pusat kerajaan
tidore belum dapat dipastikan sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4.
Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore
sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah
Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di
mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan
adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M syariat islam mulai digunakan dalam system pemerintahan kerajaan. Gelar raja berubah menjadi Sultan. Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa
kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M,
ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo(Ala ud-din Syah) ke Toloa di
selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan
Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat
serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan
untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa
Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi
Soa-Sio hingga saat ini.
Masa Kejayaan
Kesultanan
Tidore mencapai Masa kejayaan Kesultanan Tidore ketika pada masa
pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate
dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda
kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak
mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik,
berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu,
baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya
terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram,
Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku
adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat
menjajah kembali.Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di
daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak
didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara
lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah
kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan
Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah
Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik,
kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan
Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih
menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku
Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan
Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.
Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore cukup
mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan
sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan
lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme
seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga
dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola
Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi
sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan
di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik.
Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore
disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana
tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir
terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen) dan
wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan
melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
1. Pehak
labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak
labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modem
2. Pehak
adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri
urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet).
3. Pehak
Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor
dan Kapita Ngofa.
4. Pehak
juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan).
Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan
bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina),
Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan
administrasi pelayaran).
Selain itu masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan
tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli
yang membidangi urusan propaganda.
Kehidupan Sosial Budaya
Tidore telah menjadi pusat
pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama
memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara
masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge
mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi
Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan dengan garis kekerabatan,
masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi
perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di
Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat
Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah
pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di
lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan
utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis
upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri,
upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa
selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun
non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan
sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo
(semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang
diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh
dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam,
bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan
dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang
di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore
yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi,
manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara
individual.
Untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman
yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu,
juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang
menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan
Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
Masuknya Bangsa Eropa Ke Tidore
Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer. Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.
Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer. Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.
Kegagalan serangan tersebut berujung
dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja
Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats,
Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut
tidak serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.
Pada tahun yang sama dengan
Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen,
dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang
bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi
tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan
untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas
Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual
seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan
meninggalkan Tidore.
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin
Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh Sultan Saifuddin, demikian pula
tongkat estafet kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani
dan Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang
luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun
Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng tersebut tidak
mencampuri urusan internal kesultanan.
Kejadian penting lainnya yang patut
dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di
bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng
Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua
belah pihak.Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu
penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan
Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis
terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan
Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang
Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.
Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur
Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik
VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam
dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan
Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja
dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole
Majimu.Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama
setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut
sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo
serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Paulus van Carden
ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Batavia kemudian mengeluarkan
Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada
Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan
untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi
produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang
kendali perdagangan atas Maluku.
Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda
tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan
Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah
terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten”
pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah
Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan
menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC akibat operasi
ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan
cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.
Sepeninggal Sultan Saifudin,
Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di
kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok
sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan
Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini
memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai
berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka
yaitu Sultan Nuku.
Pada tahun 1780, Nuku
memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa
kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda.
Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang
utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat,
Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan
Garang, Watubela dan Tor.
Setelah berjuang beberapa tahun,
Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan
Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung
abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.
Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan
Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan yang diraih
Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri
Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan
Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan
instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan
daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris
menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini
semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi pada tanggal 14 November 1805,
Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou
Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”.
Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat
Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada
yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.
Selain memiliki kecerdasan dan
karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya.
Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang
mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan
diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Mundurnya Kerajaan Tidore disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (
Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa
mereka telah Diadu Domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di
gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau
Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan
nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang
berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi
Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku–
yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini, gunung
Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga
rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku
telah sampai’.
Sejak
awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa
dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi
mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan.
Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat
dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di
Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore
selatan.
Pada
tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi
penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan
berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta
tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru
di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan
Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan
keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang
dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam
sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore.
Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara
posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah
membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore
di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore
ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Ekspedisi Tidore Ke Timur Nusantara
Selain
Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan besar di
jazirah Maluku Utara yang mengembangkan kekuasaannya terutama ke wilayah
selatan pulau Halmahera dan kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun yang
lalu Kerajaan ini telah mempunyai hubungan kekuasaan hingga sampai ke Irian
Barat (Pesisir Tanah Papua) sebagai wilayah taklukannya. Waktu itu, yang
memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore, ialah Sultan
Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12.
Menurut (Almarhum) Sultan
Zainal Abidin “Alting” Syah, Sultan
Tidore yang ke 36, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal 27 Perbruari 1947,
yang bertepatan dengan tanggal 26 Rabiulawal 1366.H, bahwa Kerajaan Tidore
terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Nyili Gam
a. Yade Soa-Sio se Sangadji se
Gimelaha
b. Nyili Gamtumdi
c. Nyili Gamtufkange
d. Nyili Lofo-Lofo
2. Nyili Papua
(Nyili Gulu-Gulu).
a. Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
b. Papua Gam Sio
c. Mavor Soa Raha
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Tidore
http://moenieck.blogspot.com/2012/09/kerajaan-tidore.html
http://fardi46.wordpress.com/kesultanan-tidore/
http://moenieck.blogspot.com/2012/09/kerajaan-tidore.html
http://fardi46.wordpress.com/kesultanan-tidore/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar