Sejarah Kejayaan
Kesultanan Tidore - Tidore merupakan
salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara,
tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi
Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang
berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi
Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku–
yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini, gunung Marijang sudah
tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa
Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’.
Kesultanan Tidore adalah
kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia
sekarang. Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore (sekitar abad ke-16
sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan,
Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini
Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Menurut beberapa tulisan di berbagai situs internet, dituliskan bahwa kekuasaan Tidore sampai ke beberapa kepulauan di pasifik selatan, diantaranya; Mikronesia, Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas tidaklah mudah. Perlu penelitian tersendiri. Hal ini juga dibantah oleh salah satu Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastera Universitas Khairun Ternate yang tidak mau menyebutkan namanya. Lebih lanjut dikatakan bahwa “agak mustahil” kekuasaan Sultan Nuku bisa sampai ke ke kawasan pasific.
Alasan bantahan terhadap hal ini didasarkan pada argumennya bahwa :
- Pasific Selatan terlalu jauh dari Tidore.
- Tidak adanya pengakuan dari penduduk setempat di Pasific Selatan bahwa mereka mempunyai kaitan sejarah dengan Sultan Nuku.
- Tidak ada bukti-bukti dan catatan tertulis tentang kapan dan bagaimana Sultan Nuku data ng dan memberi nama pulau-pulau tersebut.
- Masyarakat Pasific Selatan saat ini mayoritas beragama Kristen. Jika memang kekuasaan Sultan Tidore telah sampai ke sana tentu ada jejak-jejak Islam ditemukan di sana.
- Sultan Nuku hidup ketika penjajah Eropa sudah berdatangan ke wilayah Timur dan wilayah Pasific Selatan diduduki oleh mereka.
- Masa hidup Sultan Nuku lebih banyak digunakan untuk berjuang melawan Belanda.
- Adanya nama Nuku di depan nama kota atau tempat di sana bukanlah bukti yang bermakna kuat karena bisa saja kata “Nuku” di sana mempunyai arti yang berbeda.
Kesultanan
Tidore merupakan salah satu kerajaan Islam yang berada di kepulauan Maluku.
Kesultanan ini berpusat di wilayah Kota Tidore Maluku Utara. Masa kejayaan
kesultanan Tidore terjadi sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18. Pada masa
kejayaannya kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau
Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada
tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk
mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan
Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663
karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian
Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah
Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689),
Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi
daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Sejarah Pendiria
Info
sumber mengenai pusat kerajaan tidore belum dapat dipastikan sejak awal
berdirinya hingga raja yang ke-4. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga,
informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam
perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah
berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang
mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah
pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M syariat islam mulai digunakan dalam system pemerintahan kerajaan. Gelar raja berubah menjadi Sultan. Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai
Dalam
sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo(Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan
meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat,
sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa,
perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano
Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang
terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau
Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Masa Kejayaan
Kesultanan
Tidore mencapai Masa kejayaan Kesultanan Tidore
ketika pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat
menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu
Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu,
Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku
memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate
tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga
kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua.
Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang
Belanda yang berniat menjajah kembali.Kerajaan Tidore terkenal dengan
rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah,
kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang
datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Wilayah Kekuasaan
Pada
masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas
hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi
bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram.
Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas,
Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan
beberapa pulau yang masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku
Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan
Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku
Nono.
Struktur Pemerintahan
Sistem
pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi
kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem
putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara.
Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan
dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari
Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian
dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika
Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore
telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan
Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin
oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri).
Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam
departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur
dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
1. Pehak labe, semacam departemen agama
yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi,
imam, khatib dan modem
2. Pehak adat bidang pemerintahan dan
kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau (panglima perang), Hukum
Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan Bobato
Ngofa (menteri urusan kabinet).
3. Pehak Kompania (bidang pertahanan
keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa.
4. Pehak juru tulis yang dipimpin oleh
seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha
(kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian),
Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public
relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).
Selain itu masih ada jabatan lain
yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi
intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan Sosial Budaya
Tidore telah menjadi pusat
pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama
memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara
masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge
mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi
Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini.
Berkenaan dengan garis kekerabatan,
masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi
perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di
Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat
Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah
pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di
lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan
utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis
upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri,
upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa
selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan
sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun
non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan
sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo
(semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang
diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh
dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam,
bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan
dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik
berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip
kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh
jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat
secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman
yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu,
juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang
menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan
Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
Masuknya Bangsa Eropa Ke Tidore
Sultan kedua Tidore adalah Almansur
yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai
pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore
untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun
oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521,
turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog
dan sejarawan Italia.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.
Pada tahun 1524, didasari persaingan
ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan
Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil
masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan
tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore
sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun
berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.
Kegagalan
serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja
Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan
sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku,
namun demikian hal tersebut tidak serta merta menyebabkan seluruh armada
Spanyol keluar dari Maluku.
Pada
tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin
Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil
Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya
terjadi tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao,
memutuskan untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan
kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore
harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis
akan meninggalkan Tidore.
Pada
tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh
Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya,
berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599.
Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan Tidore,
kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore.
Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.
Kejadian
penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan
Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580.
Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan
Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.Unifikasi ini sebenarnya
didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng Portugis-Gamlamo
di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26
Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira
de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini
mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk persekutuan dengan
Spanyol di kepulauan Maluku.
Pada
tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha,
mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga
Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang
mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan
menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada
waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.
Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Batavia
kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh
dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon
rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang
untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum
VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas Maluku.
Apa
yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi
pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”.
Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang
berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore
beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer
Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie
penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat
banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih
menjadi turun drastis.
Sepeninggal
Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan
pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu
mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya
hingga pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat
bahwa sultan ini memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun
situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang
sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.
Pada
tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan
bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan
VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah
Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan
Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut,
Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.
Setelah
berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia
berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan
pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan
Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan
dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan
yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di
negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang
mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia
mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar
menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun
1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka
hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi
pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa
hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa
dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya
membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi
rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku
sejak awal perjuangannya.
Selain
memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian
dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam
ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk
bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan
penindasan.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Mundurnya
Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang
dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk
memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan
Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah Diadu Domba oleh Portugis dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar
Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang
dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
Tidore merupakan salah satu pulau
kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah
barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau
Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie
Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai
dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di
gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”.
Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari
gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re,
artinya, ‘aku telah sampai’.
Sejak
awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa
dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi
mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan.
Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat
dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di
Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore
selatan.
Pada
tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi
penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan
berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta
tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru
di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan
Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan
keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang
dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam
sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore.
Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara
posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah
membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore
di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini
kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
EKSPANSI TIDORE KE TIMUR
NUSANTARA
Selain
Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan besar di
jazirah Maluku Utara yang mengembangkan kekuasaannya terutama ke wilayah
selatan pulau Halmahera dan kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun yang
lalu Kerajaan ini telah mempunyai hubungan kekuasaan hingga sampai ke Irian
Barat (Pesisir Tanah Papua) sebagai wilayah taklukannya. Waktu itu, yang
memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore, ialah Sultan
Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12.
Menurut
(Almarhum) Sultan Zainal Abidin “Alting”
Syah, Sultan Tidore yang ke 36, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal
27 Perbruari 1947, yang bertepatan dengan tanggal 26 Rabiulawal 1366.H, bahwa
Kerajaan Tidore terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Nyili
Gam
a. Yade Soa-Sio se
Sangadji se Gimelaha
b. Nyili Gamtumdi
c. Nyili
Gamtufkange
d. Nyili Lofo-Lofo
2. Nyili
Papua (Nyili Gulu-Gulu).
a. Kolano Ngaruha
(Raja Ampat)
b. Papua Gam Sio
c. Mavor Soa Raha
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Tidore
http://moenieck.blogspot.com/2012/09/kerajaan-tidore.html
http://fardi46.wordpress.com/kesultanan-tidore/
http://moenieck.blogspot.com/2012/09/kerajaan-tidore.html
http://fardi46.wordpress.com/kesultanan-tidore/